Ketahui Lebih Dalam Mengenai Masjid Jogokariyan

Masjid Jogokariyan merupakan masjid yang berdiri ditengah kampung, dimana kampung ini terletak di pinggiran kota Yogyakarta. Meskipun begitu, masjid ini merupakan masjid yang terkenal hingga ke mancanegara. Tak heran bila masjid ini ramai oleh pengunjung dari berbagai pelosok Indonesia, untuk anda yang belum tahu sejarah dari masjid ini. Pastikan anda membaca artikelini hingga tuntas, karena kami akan menjelaskan secara lengkap mengenai masjid yang ada di pelosok Yogyakarta ini.

Sejarah Asal-Usul Masjid Jogokariyan

Tepatnya sebelum tahun 1967, di kampung Jogokariyan belum terdapat masjid. Sehingga kegiatan dakwah ataupun keagamaan hanya dilakukan di sebuah langgar (sebutan untuk masjid kecil), letaknya di pojok kampung tepatnya di RT 42 RW 11. Saat ini langgar dijadikan sebagai rumah Bp. Drs. Sugeng Dahlan, selatan rumah Almarhum Bp. H. Basyir Widyahadi.

Laggar ini dulunya berukuran 3 x 4 m, dengan jumlah pengunjung yang sangat minim. Bisa anda bayangkan, di bulan Ramadhan saja langgar ini tidak terisi penuh, karena masa itu warga Jogokariyan merupakan kalangan “Abangan”. Abangan ini merupakan kultur Abdi yang masuk dalam prajurit keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang “ngugemi”, ketimbang kultur keislaman.

Kebiasaan hidup mapan para Abdi dalam dengan senang berjudi, mabuk bahkan nyandu merubah kondisi petani sehingga tidak menerima gaji. Dimana gaji tersebut berubah dalam bentuk sawah ataupun pekarangan, dan tak sedikit pula orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dan berakhir menjual tanahnya pada pengusaha batik di kampung Jogokariyan.

Dengan adanya hal ini terjadi perubahan ekonomi sosial yang cukup drastis, dimana kampung ini berubah menjadi kampung tenun dan batik. Para generasi abdi dalem terpaksa harus bekerja di pabrik tenun dan batik, dimana mereka menjadi buruh disana.

Masa itu menjadi masa kelam para Abdi Dalem, padahal mereka merupakan penduduk asli dan menjadi miskin ditengah kemakmuran pendatang. Bila dibandingkan dengan pendatang, mereka merupakan orang-orang yang memiliki gelar Raden ataupun Raden mas. Kesenjangan sosial ini dimanfaatkan dengan baik oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan membedakan kelas buruh dan majikan.

Kedatangan PKI ini disambut antusias oleh warga Jogokariyan, yang sudah terhasut ini sehingga menjadikan Jogokariyan sebagai basis PKI. Seluruh anggota PKI didominasi oleh warga miskin dan buruh, dan saat itu merupakan jumlah yang cukup besar. Sedangkan pada juragan yang berasal dari kaum Abangan, aktif di PNI yang memiliki jumlah minoritas. Ketika gerakan 30S PKI di tahun 1965, banyak warga yang tertangkap dan dipenjara sebagai tahanan politik. Pada saat itulah kemudian dibangun masjid yang dinamakan Jogokariyan ini, dimana masjid ini menjadi perekat masyarakat dan membimbing mereka ke masyarakat yang berkultur islam.

Seiring beralannya waktu, masjid ini berhasil melakukan fungsinya sebagai pembawa perubahan. Dari yang dulunya masyarakat rata-rata kaum “Abangan” komunis menjadi masyarakat yang Islami.

Penentuan Nama Masjid

Ketika pembangunan masjid, ada banyak sekali usulan nama yang diajukan untuk dijadikan nama masjid ini. Proses pembangunan ini dilakukan pada tanggal 20 September 1966, di kampung Jogokariyan. Bahkan sampai saat ini nama masjid ini masih menjadi pertanyaan orang-orang, namun para penrintis dan pendiri masjid sepakat untuk menggunakan nama kampung sebagai namanya yakni Jogokariyan.

Inilah alasan pemberian nama masjid ini:

  • Berdasar pada Sunnah Rasulullah SAW yang memberi nama masjid pertamanya dengan nama kampung, yakni Kuba madina yang diberi nama Masjid Kuba. Dengan keadaan itu, maka memotifasi masyarakat untuk memberi nama masjid yang ada di Jogokariyan dengan nama kampungnya.

  • Diharapkan dengan wilayah yang jelas, tentu masjid ini akan memiliki wilayah dakwah tersenidiri. Maka dari itu masjid ini diberi nama Jogokariyan, sehingga batas terotori dakwahnya bisa ditentukan yyakni sekitar kampung Jogokariyan.

  • Misi utama masjid yakni sebagai perekat dan pemersatu warga Jogokariyan, dimana sebelum dibangunnya masjid mereka terbagi dari bebrapa aliran politik. Dengan adanya pembagian politik inilah, masjid ini mampu menjadi penengah dan mengatasi kesenjangan sosial itu.

Proses Pembangunan Masjid

Pembuatan masjid ini digagas oleh haji Jazuli, yang merupakan pengusaha batik dari Karangkajen yang memiliki rumah di kampung Jogokariyan. Gagasan ini dibicarakan bersama tokoh dan umat masyarakat Jogokaryan, diantaranya: Bpk.Zarkoni (saat itu belum Haji), Bpk.Abdulmanan, H.Amin Said (satu-satunya warga yang sudah haji pada waktu itu), Bpk.Hadits Hadi Sutarno, KRT Widyodiningrat, Ibu Margono dan masih banyak lagi.

Namun kendala juga terjadi dimana tidak ada tanah wakaf di sekitar kampung, sehingga mereka membentuk sebuah panitia dan mengumpulkan dana untuk membeli tanah yang nantinya akan dibangun di masjid. Atas bantuan para pengusaha batik serta tenun yang bergabung dalam koperasi batik "Karang Tunggal" dan "Tri Jaya", lahirnya di awal tahun 1966 telah dapat direalisasikan pembelian tanah dengan luas 600 m persegi yang terletak di selatan lokasi masjid yang saat ini berdiri.

Akhirnya pada bulan Agustus 1967, bertepatan dengan HUT RI ke 22 masjid ini diresmikan langsung oleh ketua PDM kota Yogyakarta.

Gerakan Infak Untuk Menyisakan Nol Rupiah

Hingga saat ini terus dilakukan pengembangan untuk meningkatkan kualitas masjid, dan salah satu hal yang membedakan masjid ini dari masjid lain adalah ta’mirnya. Apabila masjid lain membanggakan tabungan infaqnya yang berjumlah jutaan, maka akan berbeda dengan masjid di jogokariyan ini. mereka akan berupaya keras untuk selalu membuat saldo infak menjadi nol rupiah, hal ini dikarenakan tujuan infaq tersebut untuk mendapatkan pahala penginfaqnya. Meskipun pada saldo tidak akan selalu dalam jumlah nol, namun motto mereka adalah untuk menyegerakan penyaluran uang infaq.

Ta’mir masjid memiliki pegangan yang sangat humanis, dengan memikirkan permasalahan jamaah sehari-hari. Pengumuman infaq yang berjumlah jutaan akan sangat menyakitkan, ketika para warga sekitar masjid ada yang tidak bisa pergi ke rumah sakit karena tak memiliki uang, atau mungkin tak bisa sekolah. Para ta’mir memiliki prinsip bahwa jama’ah ialah tragedi da’wah yang fatal. Dengan mengumumkan saldo dengan jumlah nol maka jamaah akan kian semangat mengamanahkan hartanya kemasjid, sehingga bisa memberikan berkah pada masjid untuk melengkapi berbagai fasilitas.

Infaq itu juga dimanfaatkan untuk melengkapi fasilitas masjid, salah satunya karpet masjid. Banyak orang yang menanyakan dimana karpet yang ada di masjid itu dibeli, karena kenyamanan karpet saat sedang digunakan untuk sholat. Untuk anda yang ingin tahu dimana karpet tersebut dibeli, anda bisa mendapatkannya dengan mudah di jual karpet masjid Jakarta.

Pengenalan Gerakan Jamaah Mandiri

Di tahun 2005 masjid ini mengenalkan gerakan yang dinamakan jamaah mandiri. Jumlah biaya setahun dikalkulasi, dibagi dengan angka 52. Sehingga akan ketemu biaya setiap pekannya, kemudian dibagi lagi dengan kapasitas masjid. Dari sini maka akan ditemukan biaya per tempat shalatnya, dan dana itulah yang nantikan akan disosialisasikan. Jamaah akan diberitahu bila mereka dalam sepekan berinfak di angka itu, maka dia termasuk jamaah mandiri, apabila lebih dari angka itu maka dia merupakan jamaah pensubsidi, dan bila kurang dari angka itu maka dia merupakan jamaah disubsidi.

Dengan adanya gerakan ini, infaq masjid sukses mengalami peningkatan hingga 400%. Hal ini disebabkan karena, mereka merasa malu bila ibadah saja harus disubsidi. Demikianlah apabila peta, data dan juga pertanggung jawaban keuangan yang transparan. Uang 1000 rupiahpun akan bisa diketahui kemana alirannya, dan tanpa dimintapun jamaah akan turut berpartisipasi. Setiap kali melakukan renovasi, masjid ini berupaya untuk tidak membebani masyarakat dengan memberikan proposal.

Pentingnya Dokumentasi

Takmir masjid juga sangat memperhatikan dokumentasi, disetiap renovasinya selalu dituliskan “Mohon maaf bila ibadah anda terganggu, karena masjid sedang dilakukan renovasi”. Kemudian mereka akan menuliskan nomor rekening di bawahnya, dengan tambahan gambar pembangunan masjid di tahun 1967. Gambar dokumentasi ini memperlihatkan seorang bapak sepuh dengan peci hitam, mengenakan baju batik dan bersarung sedang memperhatikan pembangunan masjid.

Foto itu bukan tanpa makna, karena foto ini mampu membantu proses pembangunan masjid di tahun 2002 hingga 2003. Saat masjid ini sedang direnovasi besar-besaran, foto yang dijadikan dokumentasi ini dibawa ke putra dari orang yang berdiri tersebut. Akhirnya di tahun 1967 memotivasi putra dari kakek itu untuk menyumbang, tak tanggung-tanggung sumbangan yang diberikan sebesar 1 milyar.

Program Skenario Planning

Dalam memajukan dakwah di masjid Jogokariyan, takmir masjid membuat sebuah skenario planning. Dimana dalam pembuatan skenario planning ini dibagi menjadi 3 periode:

  1. Periode pertama tahun 2000 – 2005

Memang skenario yang diberikan memiliki karakteristik yang berbeda, namun bila diperhatikan jumlah kerjanya tidak jauh berbeda.

di periode 200 hingga 2005, takmir masjid memiliki misi untuk merubah masyarakat kaum “abangan menuju islami. Selain itu pemuda yang masih suka mabuk diarahkan ke masjid, warga yang belum shalat diajak shalat, dan mengajak anak kecil untuk melakukan aktivitas didalam masjid. Ada banyak sekali program guna untuk memakmurkan masjid dikala itu.

  1. Periode kedua tahun 2005 – 2010

Pada periode ini, takmir lebih berfokus pada ajakan kepada masyarakat untuk berkomunitas di dalam Masjid. Jamaah dari yang sebelumnya 2 shaf menjadi 10 shaf, 50% dari jamaah shalat jumat. Mensejahterakan masyarakat dengan lumbung masjid, memberikan pelayanan, membuka poliklinik, memberi bantuan beasiswa, dan memberikan lauanan modal usaha.

  1. Periode ketiga 2010 – 2015

Pada periode ini, para takmir lebih memfokuskan untuk menuntaskan periode-periode sebelumnya. Seperti mengajak orang yang belum shalat kemasjid untuk shalat kemasjid, mengajak orang untuk sholat subuh di masjid dan masih banyak lagi.

Terbukti dengan adanya peningkatan dari 50% masyarakat yang shalat kemasjid menjadi 75% orang yang shalat kemasjid, dan mengajak para mantan pemabuk untuk ikut menjadi bagian di berbagai kegiatan masjid. Seperti BB,, relawan masjid dan masih banyak lagi.

Tentu dari sekian banyak sejarah yang ada di balik masjid yang terletak di Jogokariyan ini bisa anda jadikan panduan, bagaimana perjuangan dari awal hingga semegah saat ini. Tentunya semua itu tidak jauh dari peran masyarakatnya sendiri, semakin berperan masyarakat maka akan semakin baik hasil dari usaha yang ditekankan. Semoga dengan adanya artikel diatas, bisa memotivasi anda untuk meningkatkan kualitas jamaah di masjid anda.